Sampah | Opini
Di sebuah desa bernama Bangkonol, orang-orang bangun pagi dan mencium bau yang tak mereka kenal sebelumnya. Bau itu tak datang dari laut, bukan dari kebun, bukan juga dari kambing yang belum dimandikan. Ia datang dari truk-truk besar yang menyusuri jalan sempit, membawa sesuatu dari luar — dari kota-kota dengan cahaya terang dan papan iklan yang bisa bicara.
Di situlah sampah menjadi politik. Tapi lebih dulu, ia adalah bau. Sesuatu yang sederhana, banal, tetapi mendalam. Karena bau adalah peringatan awal bahwa sesuatu telah masuk ke tubuh kita — tanpa izin.
Kabupaten Pandeglang, seperti tempat-tempat lain di republik ini, barangkali sedang belajar membedakan antara rejeki dan risiko. Ketika pemerintahnya menerima kiriman sampah dari kota lain — Serang, Tangerang Selatan — mungkin yang terlihat hanya angka: tujuh ratus juta rupiah masuk ke kas daerah. Namun yang teraba bukan uang, melainkan udara yang mendadak pekat, lalat-lalat yang bersarang di dinding rumah, dan anak-anak yang bertanya kenapa sekolah mereka kini berbau seperti tong kosong.
Saya tidak tahu bagaimana para pejabat memutuskan bahwa menerima sampah dari luar adalah jalan terbaik. Mungkin, seperti biasa, mereka memakai kata “kerja sama” — kata yang terdengar adil, netral, penuh itikad baik. Tapi kerja sama macam apa yang hanya satu pihak membuang, dan pihak lain menerima?
Polemik pun bergulir. Mahasiswa turun ke jalan. Warga berteriak di depan DPRD. Di tengah semua itu, saya membayangkan seorang ibu sedang menjemur pakaian, dan mencium bau yang membuatnya menurunkan kembali kain-kain basah itu, karena tak mungkin kering di udara yang dipenuhi limbah.
Di sinilah ironi kita: kota besar menghasilkan sampah, tapi tidak mau menyimpannya. Desa kecil tidak menghasilkan sampah sebanyak itu, tapi diminta menampungnya. Ini bukan hanya soal tumpukan plastik dan sisa makanan. Ini adalah metafora tentang relasi pusat dan pinggiran — tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam diam.
Kata seorang penulis handal: bahwa yang abadi dari politik bukanlah kekuasaan, melainkan luka yang ditinggalkannya. Sampah adalah luka itu. Ia tidak mengucurkan darah, tetapi perlahan merusak. Ia merayap masuk ke tanah, ke air, ke tubuh.
Dan seperti luka lainnya, ia membutuhkan pengakuan. Pandeglang menolak menjadi tempat pelarian. Warganya menolak dilatih untuk bersyukur pada sesuatu yang merusak. Mereka menolak diam ketika yang masuk ke halaman rumah mereka bukan tamu, tapi residu.
Barangkali suatu hari kita akan berhenti mengukur keberhasilan dari seberapa banyak yang kita simpan, dan mulai menghitung dari seberapa sedikit yang kita buang. Sampah tidak pernah bohong. Ia mencerminkan kita lebih jujur dari cermin.
Di Bangkonol, orang masih mencium bau itu. Di kantor-kantor pemerintah, rapat mungkin masih berlangsung. Tapi di hati warga, keputusan sudah dibuat. Mereka tidak mau menjadi tempat pembuangan. Mereka hanya ingin pulang ke rumah yang baunya seperti rumah — bukan seperti sesuatu yang tak seharusnya ada.
Sampah, akhirnya, bukan hanya masalah logistik. Ia adalah soal harga diri. (*_*)
* Penulis adalah warga Pandeglang, penyuka musik Metal & Grunge.
Posting Komentar untuk "Sampah | Opini"