Culas, Krisis Moral yang Harus Kita Lawan
Oleh: Jandan A
Secara sederhana, culas adalah sikap tidak jujur yang dibungkus dengan kelicikan. Orang yang culas biasanya lihai mencari jalan pintas untuk menang sendiri, meski harus menjatuhkan orang lain atau merusak aturan.
Contoh kecil culas bisa kita temui di mana saja: karyawan yang memalsukan absen, pedagang yang mengurangi timbangan, hingga politisi yang menyelewengkan anggaran. Kelihatannya sepele, tapi inilah akar dari kerusakan besar dalam masyarakat.
Dalam dunia organisasi—baik kampus, komunitas, maupun kerja—sifat culas sering muncul tanpa disadari. Misalnya:
Anggota yang hanya aktif saat ada pembagian keuntungan, tapi hilang saat kerja keras dibutuhkan.
Pengurus yang sengaja menutup informasi agar bisa memonopoli keputusan.
Bendahara yang “memainkan” dana kas organisasi untuk kepentingan pribadi.
Pimpinan yang pura-pura peduli, padahal diam-diam mengatur strategi untuk memperkaya diri.
Perilaku culas seperti ini membuat organisasi pincang. Semangat kebersamaan luntur, kepercayaan hilang, dan akhirnya tujuan mulia organisasi bisa hancur berantakan.
Sifat culas tidak hanya merugikan orang lain, tapi juga mematikan kepercayaan. Dalam keluarga, bisnis, atau organisasi, kepercayaan adalah pondasi utama. Begitu pondasi ini retak karena kecurangan, seluruh bangunan bisa roboh.
Lebih jauh, culas juga menimbulkan ketidakadilan. Seseorang yang culas bisa mendapatkan hasil besar tanpa usaha, sementara yang bekerja keras malah terpinggirkan. Akibatnya muncul rasa iri, kecewa, bahkan konflik yang sulit dipadamkan.
Di era yang serba transparan ini, kita ditantang untuk lebih teguh pada integritas —sekali culas, nama baik bisa tercoreng selamanya.
Lawan dari culas adalah integritas. Membiasakan diri untuk jujur dalam hal kecil adalah latihan terbaik menuju kejujuran dalam hal besar. Organisasi yang sehat butuh anggota yang berani berkata benar meski tidak populer, berani menolak curang meski tidak menguntungkan diri sendiri.
Keluarga, sekolah, dan para pemimpin punya peran besar dalam memberi teladan. Sebab kejujuran itu menular, begitu juga kecurangan.
Mari kita renungkan: culas bukan hanya soal moral, tapi juga menyentuh ranah etika dan agama. Hampir semua agama menegaskan bahwa kecurangan adalah perbuatan tercela yang akan berbalik merugikan pelakunya. Dalam Islam misalnya, orang yang curang disebut sebagai pihak yang merugi di akhirat. Dalam ajaran lain pun, kejujuran selalu dimuliakan.
Maka, sudah saatnya kita berkata tegas: tidak untuk culas. Tidak dalam organisasi, tidak dalam bisnis, tidak juga dalam kehidupan pribadi. Karena apa gunanya sukses bila diraih dengan cara culas? Lebih baik berjalan lambat tapi bersih, daripada cepat tapi busuk.
Culas bukan sekadar sifat negatif; ia adalah cermin dari krisis moral yang harus kita hadapi bersama. Dengan sadar, menolak culas, dan menegakkan kejujuran, kita bukan hanya menjaga diri sendiri, tetapi juga memperkuat pondasi masyarakat.
Ingatlah: integritas adalah warisan paling berharga. Uang bisa habis, jabatan bisa hilang, tapi nama baik yang dibangun dengan kejujuran akan tetap harum selamanya. (*)
Posting Komentar untuk "Culas, Krisis Moral yang Harus Kita Lawan"